KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN DALALAHNYA

29 November 2014

KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN DALALAHNYA

Sunnah sebagaimana dimaklumi, merupakan sumber hukum Islam kedua di bawah al-Qur’an, kitab Allah SWT itu sendiri secara faktual sering mempersandingkan Nabi Muhammad saw dengan Rabb-Nya bila berbicara tentang otoritas termaktub di dalam sejumlah besar ayat-ayat al-Qur’an. Kaum beriman diperintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasulnya. Sebagai salah satu contohnya adalah firman Allah azza wa jalla dalam surat an-Nisa ayat 59. Pada umumnya para sahabat seperti Ibnu Katsir,[1] Ali al-Syabuny,[2] Abdul Wahab Khalaf,[3] dan lain-lain menafsirkan perintah taat kepada Allah dalam ayat tersebut dengan merujuk pada al-Qur’an, sedangkan referensi taat kepada Rasul adalah sunnah.
Kaum muslimin, paling tidak semenjak peralihan abad ke I H / 7 M serta sebagian besar kaum orientalis menganggap hal ini sebagai, bahwa otoritas Muhammad ini merasuk pada perilaku herbal dan preformatif Nabi saw di luar al-Qur’an. Dalam kenyataannya, bagi kaum muslimin, otoritas al-Qur’an adalah lebih tinggi daripada otoritas Nabi sendiri, karena sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah-perintah dan hukum-hukum al-Qur’an. Nabi tak lebih hanyalah sebagai penyampai al-Qur’an kepada manusia. Dalam hal ini, setiap perkataan Nabi saw untuk membedakan antara premis-premis wahyu Allah dengan ucapan-ucapan serta tindak tanduk beliau setiap hari, juga tidak bisa kita nafikan kebenarannya, walaupun sebenarnya al-Qur’an itu sendiri muncul dalam konteks sejarah dan sebagian besar dari padanya berorientasi erat dengan fenomena-fenomena khusus.
Dalam perkembangan historis Islam, kemudian muncul komunikasi muslim yang menolak adanya sunnah berdasarkan beberapa alasan diantaranya:
  1. al-Qur’an adalah kitab suci yang berbahasa Arab yang sudah tentu menggunakan uslub-uslub bahasa (language styles) yang biasa digunakan oleh bangsa Arab. Sehingga kalau seseorang telah mengenal language styles tersebut ia akan mampu memahami al-Qur’an dengan sendirinya, tanpa memerlukan penjelas akan sunnah dan penjelasan lainnya. 
  2. al-Qur’an sendiri telah mengatakan bahwa ia telah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia mengenai segala aspek kehidupannya. Tidak ada sesuatupun yang tidak diliput al-Qur’an atau dilalaikan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nahl ayat 89 dan al-An’am ayat 38.[4]
Sikap skeptis atau tepatnya bernada mempertanyakan eksistensi hadits dan atau sunnah Rasul saw seperti ini juga dimiliki oleh beberapa orientalis Barat yang getol mempelajari (baca: menggugat) keberadaan Islam itu sendiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ignaz Goldziher dalam Muhammadanische Studiennya.[5] Bahwa proses penyaringan sedemikian banyak materi hadits Nabi SAW, sehingga di protes suatu bagian yang dapat dinyatakan sebagai asli berasal dari utusan Allah SWT terakhir tersebut atau dari generasi sahabat masa awal adalah pemikiran yang meragukan. Kemudian dengan mantap Goldziher berkeyakinan bahwa hadits seharusnya dianggap sebagai catatan tentang kehidupan dan ajaran Nabi saw, atau bahkan sahabat-sahabat beliau, walau demikian, Goldziher tetap memiliki keyakinan bahwa fenomena hadits berasal dari zaman Islam paling awal dan bahkan mendukung kemungkinan adanya catatan-catatan hadits “informal” pada masa itu.
Disinilah sebenarnya letak nuansa kemenarikannya sumber hukum Islam kedua tersebut, sebab sebagaimana kita lihat dan saksikan, fenomena-fenomena faktual yang berkembang serta beredar sekitar keyakinan “diterima / tidaknya” sunnah Nabi saw, itu selalu saja menjadi materi diskusi yang menarik banyak kalangan, baik dari komunitas Islam sendiri maupun komunitas non Islam, yang memiliki tested interest untuk mempelajari Islam, dan dalam masalah ini, kami akan membahas mengenai kedudukan as-Sunnah dan dalalahnya.

Pengertian as-Sunnah

Menurut bahasa (lughawi) as-sunnah[6] berarti: yaitu cara atau jalan yang terpuji maupun yang tercela
Adapun menurut istilah as-sunnah diartikan sebagai berikut: menurut Hafizuddin al-Nasafi (w. 710 H).[7] Sesungguhnya sunnah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, baik perbuatan maupun perkataan.
Definisi-definisi yang dikemukakan di atas, sebetulnya definisi-definisi yang dirumuskan oleh para ahli hadits, dimana peranannya terlihat pada aspek-aspek yang dihubungkan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuan Rasulullah, sebab menurut para ahli hadits, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Mustofa Azami[8] bahwa sunnah di samping terikat dengan ucapan, perbuatan dan pengakuan Nabi juga mencakup aspek-aspek sifat dan hal ihwal tentang diri beliau baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya.

Macam-macam Sunnah dilihat dari Segi Bentuknya

Bertitik tolak dari definisi atau pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka sunnah dilihat dari segi bentuknya, sebagaimana dikemukakan oleh Zaky al-Din Sya’ban[9] bahwa para ulama umumnya membagi sunnah menjadi 3 macam, yaitu:
  1. Sunnah Fi’liyah, ialah hadits yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat kemudian disampaikan kepada orang lain, misalnya hal-hal yang berhubungan tata cara pelaksanaan ibadah.[10]
  2. Sunnah Taqririyah yaitu perbuatan dan ucapan para sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Rasulullah, tetapi beliau mendiamkan dan
  3. Sunnah Qauliyah: yaitu hadits-hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi saw, dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang utuh seperti apa yang diucapkan oleh Nabi tersebut. Contoh :Hendaklah kamu luruskan shaf kamu, karena sesungguhnya shaf yang lurus itu termasuk bagian dari kesempurnaan shalat.
  4. tidak menolaknya. Sikap diam Rasulullah tersebut dengan tidak menolak atas perbuatannya atau ucapan, para sahabat itu dipandang sebagai persetujuan beliau.[11]
Macam-macam Sunnah dilihat dari Segi Kuantitas Rawinya 
Pembagian sunnah atau hadits dilihat dari kuantitasnya, umumnya para ulama membaginya kepada 3 macam:
  1. Sunnah mutawatir: yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Rawi (periwayat) yang jumlahnya banyak dan diyakini mustahil adanya kedustaan. Penelitian sunnah mutawatir ini di nukil secara mutawatir, dengan jumlah rawi yang banyak mulai dari sahabat, tabi’in, dan tabiat tabi’in. Oleh karena itu sunnah mutawatir ini hadits yang paling tinggi derajatnya.
  2. Sunnah masyhur, yang dimaksud dengan sunnah masyhur sebagaimana disebutkan oleh Abdul Karim Zaidan[12] ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw oleh dua orang atau lebih dan tidak mencapai tingkat mutawatir, kemudian hadits ini tersebar di kalangan tabi’in atau sering juga disebut dengan generasi kedua (tabi’in) dan generasi ketiga (tabiat tabi’in).
  3. Sunnah Ahad, yang dimaksud dengan sunnah ahad adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, tetapi tidak melerai tingkat mutawatir. Hal ini terjadi karena boleh jadi kadang-kadang ia diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih, namun tidak sampai tingkat mutawatir.[13]

Kehujjahan Sunnah

Dilihat dari segi pembagian sunnah menjadi mutawatir, masyhur dan ahad. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka sunnah mutawatir, masyhur maupun ahad merupakan sumber dan dasar pembinaan hukum Islam. Abdul Kholaf[14] menyebutkan bahwa sunnah dari segi kehujjahannya ia merupakan sumber dalam melakukan istimbath hukum dan menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an tentang peristiwa yang terjadi mereka mencari dalam sunnah.
Namun demikian, dari ketiga macam pembagian sunnah yang telah disebutkan di atas, maka terhadap sunnah mutawatir seluruh ulama baik ulama ushul maupun ahli hadits sepakat atas kehujjahannya. Demikian pula terhadap sunnah masyhur dan sunnah ahad, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang persyaratan sunnah ahad.
Kalangan Malikiyah menyebutkan bahwa mereka menerima dan mengamalkan sunnah ahad juga tidak berlawanan dengan amal ahli madinah. Dalam pandangan Imam Malik dan pengikutnya, bahwa amal ahli Madinah posisinya lebih kuat dari pada sunnah ahad.
Sementara itu kalangan Hanafiyah juga menerima dan mengamalkan sunnah ahad[15] dengan beberapa syarat, pertama sunnah ahad dapat diterima juga tidak terkait dengan berbagai peristiwa; kedua tidak berkenaan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang pasti dalam syari’at; ketiga perawi sunnah ahad tidak menyalahi riwayatnya, karena apa yang diriwayatkan berarti ia meninggalkan atau mengusahakan sesuatu yang seharusnya dilakukannya.

Hubungan Sunnah dengan al-Qur’an

Jika dilihat hubungan sunnah dengan al-Qur’an keberadaannya sangat penting sekali. Karena keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini akan terlihat dalam hal penerapan ajaran al-Qur’an dalam kehidupan. Berdasarkan pernyataan Abdul Wahab Kholaf[16] tidak seorangpun mengingkari bahwa paling tidak ada tiga fungsi sunnah terhadap al-Qur’an bila dilihat hubungan antara keduanya.

  1. Berfungsi untuk menguatkan dan membenarkan hukum-hukum yang dibawa oleh al-Qur’an
  2. Untuk menjelaskan dan memberi rincian pelaksanaan ajaran yang dibawa al-Qur’an yang hanya disebut secara global
  3. Sunnah kadang-kadang berfungsi untuk menetapkan sesuatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an.

Sunnah dan Dalalahnya

Dilihat dari segi keberadaan al-Sunnah sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka ia ada yang qat’iy al-wurud dan dzanny al-wurud. Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Wahab Kholaf, sunnah yang digolongkan kepada qat’iy al-wurud ini adalah hadits-hadits mutawatir, sebab hadits-hadits mutawatir ini tidak diragukan kebenaran bahwa ia pasti datang dari Nabi saw. Dengan kata lain hadits mutawatir dilihat dari segi periwayatannya dilakukan oleh jumlah rawi yang banyak dan secara logika tidak mungkin jumlah rawi yang banyak itu melakukan kedustaan dalam riwayatnya. Sementara itu, sunnah yang dolongkan kepada dzanny al-wurud adalah hadits-hadits masyhur dan ahad.
Kemudian sunnah dilihat dari segi dalalahnya yaitu petunjuk yang dapat dipahami terhadap mereka atau pengertian yang dikehendaki dapat dibedakan kepada qat’iy al-dalalat dan zany al-dalalat adalah hadits-hadits juga dilihat dari segi makna lafadnya tidak mungkin di takwilkan. Dengan kata lain sunnah yang dalalahnya qat’iy itu adalah hadits-hadits dimana pengertian yang ditujukannya mengandung makna yang jelas dan pasti. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa dalam hadits disebutkan cara Rasulullah berwudlu,[17] dengan membasuh anggota wudlu masing-masing tiga kali kecuali mengusap kepala.
Adapun zany al-dalalat adalah hadits-hadits yang makna lafalnya tidak menunjukkan kepada pengertian yang terjadi karena masih mungkin diartikan kepada pengertian lain.[18] Misalnya hadits tentang bacaan surat al-Fatihah dalam shalat. 
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah” 
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nash-nash yang dikategorikan zany al-dalalat ini memang memberi peluang untuk ditakwilkan atau diartikan kepada arti yang lain selain dari dasar yang dikandungnya.
Atas dasar ini, jika dibandingkan antara al-Qur’an dengan sunnah dilihat dari segi qat’iy dan zany antara keduanya, maka al-Qur’an seluruh nashnya adalah qat’iy al-wurud atau sering juga disebut dengan qat’iy al-subut, sedangkan dalalahnya ada yang qat’iy dan ada pula yang zanni. Adapun sunnah ada yang qat’iy al-wurud dan ada pula yang zany al-wurud, ada yang qat’iy al-dalalah dan ada pula yang zany al-dalalah.

KESIMPULAN
Dari uraian si atas dapat menyimpulkan tentang kehujjahan sunnah dan kedudukan sunnah dalam hukum Islam.
Abdul Wahab Khalaf, menyebutkan bahwa sunnah merupakan sumber dalam melakukan istimbath hukum dan menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an tentang peristiwa yang terjadi mereka mencari dalam sunnah.[19]
Kemudian fungsi sunnah terhadap hukum Islam
  1. Berfungsi untuk menguatkan dan membenarkan hukum yang di bawa al-Qur’an
  2. Untuk menjadikan dan memberikan rincian pelaksanaan ajaran yang di bawa al-Qur’an yang hanya di sebut secara global.   

[1] Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 641
[2] Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwatu al-Tafsir, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1981), hlm. 285
[3] Dr. Abdul Wahab Kholaf, Ilm Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis Ala al-Indonesiyiy li al Dakwah al-Islamiyah, 1972), hlm. 39
[4] Drs. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hlm. 28
[5] Ignaz Goldziher, Muhammeanische Studien, terj. Bahasa Inggris “Muslim Studies” C.R. Barber and S.M Stem, George Allen and Unwin, 1971, vol. 2, hlm. 5
[6] lihat dalam Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Balad al-Arabiyah, (Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1990), cet. III, hlm. 64
[7] Hafizuddin al-Nasofi, Kasyful Asror, Juz III, (Beirut : Lebanon Dar al-Kutub al-Islamiyah, cet. I, 1986, hlm. 3
[8] Muhammad Mustofa Azami, Hadits Nabawi dari Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Ya’qub, MA, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), cet. I, hlm. 14
[9] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar Ta’lif, 1965), hlm. 54
[10] Ibid.,hlm. 53-54
[11] Ibid.,
[12] Ibid., hlm. 57
[13] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syab al-Azhar, 1990), cet. VIII, hlm. 42
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hlm. 39
[16] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: al-Dar al-Arabiyah Littiba’ah, 1977), cet. VI, hlm. 77
[17] Ibid.,
[18] Zaky al-Din Sya’ban, loc.cit.,
[19] Drs. Romli SA, M.Ag, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm. 75
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.