QAWA’ID AL-KULLIYAH

11 Desember 2009

QAWA’ID AL-KULLIYAH

Dengan mempertimbangkan hukum positif yang berlaku serta adat kebiasaan yang dianut masyarakat dan hasil kajian historis-sosiologis maka perlu sekali dikembangkan konsep-konsep hukum yang Islami yang bersumberkan pada al-Qur’an, hadits Rasulullah yang shahih sebagai sumber naqli ilmu pengetahuan hukum, sebagai sumber ijtihadi serta hasil musyawarah dari para ahlinya. Bagi kita yang sekarang sedang melaksanakan pembangunan, maka pengkajian konsep Islam tentang tata hukum dan perkembangan fiqih akan dapat memberikan bahan masukan dapat menghadapi tantangan masa depan pembangunan termasuk dampak negatif dalam bidang kemasyarakatan yang menyertainya. 

Kaidah Fiqh tentang Prinsip-prinsip Ijtihad 
Perlu diteliti kembali tentang arti dan cakupan prinsip maslahah (kepentingan umum), serta upaya dalam memberikan konseptualisasi kontemporer terhadap prinsip ijtihad. Syaikh Ahmad Zaky Yamami, sangatlah menakjubkan dalam orientasinya yang liberal tentang konsep maslahat dan dalam pernyataan-pernyataan yang sangat umum, akan tetapi contoh-contoh yang dikemukakannya dari perbendaharaan hukum islam klasik tidak memadahi bagi kandungan generalisasi yang dibuatnya.
Pernyataan Yamami bahwa perbedaan antara illah (alasan) dan hikmah (tujuan) suatu hukum hanya bertalian dengan aspek ibadah dan kasus-kasus sekuler, keduanya yaitu illah dan hikmah identik, dapat disepakati. Akan tetapi dalam bidang sosial tidak terdapat perbedaan antara illah dan hikmah. Dalam titik ini, tidak dapat disepakati jika bidang sosial diistilahkan sebagai sekular, karena seseorang tentu saja bisa menyatakan bahwa hukum Islam yang diperoleh dari al-Qur’an dan sunnah oleh kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyyah, misalnya sekuler selanjutnya, pembedaan antara illah dan hikmah tidak dapat dipertahankan.
Sedangkan menurut pendapat al-Syaukani membolehkan dan menghalalkan segala sesuatu untuk dimakan atau dilakukan selama tidak ada larangan dari syara’. Inilah prinsip yang paling fundamental dalam muamalah. Bahkan, kalau di dalamnya terdapat unsur tolong-menolong antar sesama muslim, hukumnya bisa berubah menjadi sunnah atau wajib. Prinsip ini dipegang pula. Oleh jumhur ulama fiqh, kecuali oleh sebagian ulama Hanafiyah –yang menurut al-Sayuti– memegang prinsip bahwa yang (menjadi pegangan) pokok pada segala sesuatu adalah tidak diperbolehkan sampai ada dalil yang membolehkan.
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta menghendaki agar segenap manusia hidup dalam keadaan tentram dan sekaligus mengenyahkan adanya bahaya yang menimpa manusia, Nabi bersabda: “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula menimbulkan bahaya atas orang lain”. HR. Ibnu Majah.
Bertolak dari prinsip demikian, maka sesuatu yang pada dasar hukumnya mubah dapat berubah menjadi haram. Dari itu, maka segala sesuatu yang ada di bumi ini hukum asalnya adalah mubah, tetapi bisa berubah menjadi haram apabila di dalamnya terdapat sesuatu yang membahayakan. Dengan demikian, memakan sesuatu yang mengandung racun tidak dibolehkan karena membahayakan si pemakannya. Demikian pula meminum minuman keras dilarang, karena bahaya lebih besar daripada manfaatnya. Sebaliknya, sesuatu makanan yang hukum asalnya haram bisa berubah menjadi mubah karena tanpa makanan tersebut akan timbul bahaya. Misalnya, seseorang yang sedang ketiadaan makan, boleh baginya memakan daging, kalau tanpa memakan daging babi itu mengakibatkan ia meninggal.
Para ulama usul, termasuk al-Syaukani, melihat bahwa bahaya yang dapat menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal ialah apabila bahaya tersebut dapat merusak salah satu lima hal, yaitu:
  1. Jiwa 
  2. Harta 
  3. Keturunan 
  4. Agama 
  5. Akal. 
Secara umum syariat Islam bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kerusakan. Oleh sebab itu, setiap perintah Ilahi senantiasa bertujuan untuk membawa kepada kemaslahatan dan setiap larangan-Nya atas sesuatu senantiasa pula karena hal tersebut mengandung atau mengandung kepada kerusakan. 

Kaidah Fiqh tentang Pengembangan-pengembangan Hukum  
Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai petunjuk (dokumen) bagi manusia yang padu dan kohensif dan tidak mengandung kontradiksi. Ia adalah wahyu Ilahi yang diturunkan dalam suatu situasi historis yang konkrit bukan dalam situasi vakum berisi berbagai solusi, komentar dan respon terhadap situasi historis yang dihadapi Nabi saw dan para sahabat.
Proyeksi pemahaman al-Qur’an kepada situasi terkini bukannya tanpa dasar pijakan yang kuat, karena berbagai contoh yang jelas mengenai hal ini. Bahkan hal ini merupakan bukti keberhasilan mereka dalam mengapresiasikan pesan-pesan al-Qur’an dan sekaligus mengaktualisasikannya. Dengan penumbuhan semacam ini berbagai problem dan tantangan yang dihadapi kaum muslimin dewasa ini dapat dijawab dan keberadaan al-Qur’an sebagai suatu way of life masih tetap dapat dipertahankan.
Upaya-upaya untuk membuktikan pesan-pesan ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, maka perhatian yang mendalam hendaklah diarahkan kepada empat komponen pokok yang saling terkait erat :
  1. Konteks sastra al-Qur’an, konteks dimana suatu term tertentu muncul atau digunakan di dalam al-Qur’an, yang mencakup baik ayat-ayat yang terdapat sebelum maupun sesudah term itu. 
  2. Pengembangan term yang dikandungnya dalam bentangan kronologi al-Qur’an. 
  3. Konteks kesejarahan global, berupa historical background Arabia pra dan pada masa pewahyuan al-Qur’an dan konteks historis langsung asbab nuzul. 
  4. Konteks sosio historis kontemporer yang merupakan lahan penumbuhan gagasan al-Qur’an.
Kaidah Fiqh tentang Berbagai Permasalahan 
Klasifikasi Muhaqqi membagi permasalahan fiqih atas empat bagian:
  1. Ibadah 
  2. Perjanjian dua pihak 
  3. Perjanjian sepihak 
  4. Perintah-perintah 
Jika amal perbuatan itu dari yang pertama, seperti shalat, puasa, khums, zakat, haji dan seterusnya, dalam fiqh diistilahkan sebagai ibadah.
Namun, jika amal perbuatan itu dari jenis yang kedua dan niat mendekatkan diri tidak merupakan syarat keabsahannya, dan anggaplah ia dilaksanakan dengan niat lain, ia masih dianggap benar dan sah, maka amal perbuatan itu terdiri dari dua jenis. Apakah pelaksanaannya bergantung pada pengesahan atas suatu perjanjian khusus atau tidak.
Dalam klasifikasi ini semua pasal fiqih telah dibagi dalam lima puluh dua pasal. Sepuluh tentang ibadah, sembilan belas pasal mengenai perjanjian, sebelas pasal mengenai dorongan sepihak dan 12 pasal mengenai perintah. 

KESIMPULAN 
Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa prinsip-prinsip ijtihad yang paling fundamental adalah membolehkan dan menghalalkan segala sesuatu untuk dimakan atau dilakukan selama tidak ada larangan dari syara’.
Upaya-upaya untuk membumikan pesan-pesan ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, maka perhatian yang mendalam hendaklah diarahkan pada empat komponen pokok yang saling terkait erat, yaitu: 1) Konteks sastra al-Qur’an; 2) Perkembangan term; 3) Konteks kesejarahan global; 4) Konteks sosio-historis kontemporer. 

DAFTAR PUSTAKA 
Amir Mu’alimin, Yusdari, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII-Press, 2004.
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ayatullah Qadir ash-Shadr, A Short History of Ilmu Ushul, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.