HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA: Perspektif Fiqh, UU Perkawinan dan KHI

19 Desember 2009

HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA: Perspektif Fiqh, UU Perkawinan dan KHI

Dalam Undang-undang perkawinan yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam yang menjadi salah satu prinsip dari suatu perkawinan ialah keabsahan, yang artinya bahwa perkawinan tersebut dianggap sah secara hukum (negara) apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pengertian kata “masing-masing” dalam hal ini menurut Sudirman tertuju kepada agama-agama yang dipeluk di Indonesia, bukannya mengacu pada masing-masing pengantin. Dari perspektif hukum Indonesia ini sudah barang tentu bahwa pernikahan beda agama itu dilarang dalam kerangka hukum Islam Indonesia. 
Namun akhir-akhir ini, timbul banyak pendapat baru yang secara legal membolehkan pernikahan beda agama dengan argumen larangan kawin beda agama dalam berbagai kitab tafsir dan fiqh dihasilkan oleh ideologi politik yang memandang manusia dalam batas-batas agama dimana terlihat jelas bahwa pelarangan ini untuk menjaga stabilitas, keutuhan dan terpeliharanya dar al-Islam (teritori Islam). Dan salah satu yang membuat terobosan lain dalam hal pembolehan pernikahan beda agama ialah yang dilakukan oleh Pusat Studi Islam Paramadina, lembaga yang didirikan Nurcholis Madjid 30 Oktober 1986 silam ini dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar pada 17 Oktober 2003 lalu berani mengeluarkan penafsiran baru atas pernikahan beda agama.
Oleh karena melihat fakta yang seperti ini, kita dapat berpendapat bahwa sudah lama perkawinan antar agama menjadi perdebatan. Dan meskipun pengakuan legal formal pembolehan hal ini belum tersurat, prakteknya warga yang melakukan perkawinan beda agama terus bertambah, lantas bagaimana sebenarnya pandangan hukum dari perspektif fiqh (baca: hukum Islam). Dalam makalah ini akan dijelaskan global permasalahan dengan tidak bermaksud untuk menjustifikasi mana yang benar maupun mana yang salah. 

Perkawinan Beda Agama (Perspektif Fiqh) 
Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an maupun hadits banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga ayat mengenai perkawinan muslim dengan non-muslim. 
Pertama, seperti dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 221 yang melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman. Allah berfirman :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221)
Asbab al-nuzul dari surat ini ialah ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mursyid al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik dengan memohon izin terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini.
Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang wanita maupun laki-laki muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang musyrik. Musyrik yang dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar, mereka semua itu haram untuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun perempuan).  
Kedua, dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir.
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”.  
Walaupun teks ayat tersebut menyebutkan wanita beriman sebelumnya telah berkumpul dengan suaminya yang kafir dan tetapi kemudian berpaling darinya, lalu hijrah ke dalam kaum muslim. Tetapi secara tersirat jelas juga bahwa wanita-wanita yang beriman (kuat imannya) itu haram untuk dinikahi oleh laki-laki kafir musyrik, yang menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya “orang kafir” yang dimaksud dalam ayat ini ialah kafir Makkah. Dan kalimat sepenggal dari potongan ayat di atas menguatkan lagi wanita beriman yang keimanannya telah kuat haram dinikahi oleh laki-laki kafir. 
Ketiga, terdapat dalam surat al-Maidah : 5, yang kandungan ayatnya berisi ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu
Dari ayat ini memang jelas bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi perempuan ahli kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang Yahudi.
Namun masalah pernikahan ahli kitab ini terdapat masalah pokok, ialah yang pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab kalau dikaitkan dengan konteks sekarang? Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat definisi ulama mengenai ahli kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti dikutip Zainun (dosen UIN Syarif Hidayatullah), berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konghucu, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Namun kiranya pendapat dari Haji Abdullah ini kami rasa lebih mewakili, beliau berpendapat, apa yang dimaksud dengan ahli kitab ini ialah seorang yang dapat membuktikan bahwa agamanya mempunyai kitab yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga Ibrahim dan agama itu ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf kepada Nabi/Rasul tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka yang menganut keyakinan: 1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an diturunkan (sebelum Muhammad saw), 3) Iman dan percaya kepada rasul-rasul Allah SWT.
Jadi kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli kitab itu orang-orang yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini sesuai dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah dengan wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu masih benar-benar ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an diturunkan. Sedangkan orang-orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah dapat disebut sebagai ahli kitab. Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi ahli kitab (kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang sangat sedikit sekali). Terlebih sekarang kitab mereka perjanjian lama dan perjanjian baru sudah banyak terkontaminasi atau dalam bahasa lainnya sudah banyak campur tangan manusia.
Terakhir dapat kita katakan perkawinan beda agama dalam kajian hukum Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir. Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang benar-benar ahli kitab. 

Perkawinan Beda Agama (Perspektif UU Perkawinan dan KHI) 
Dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) diakui adanya perbedaan hukum perkawinan dari agama-agama yang berbeda. Akibatnya di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan yang berbeda satu dengan lainnya dan telah mendudukkan hukum berbagai agama di bidang perkawinan. Dalam hal ini UU Perkawinan menggunakan istilah “Perkawinan Campuran” yang telah sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 (kebebasan beragama) yang mengakui adanya pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran dalam negara ini disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem hukum perkawinan yang berlainan sesuai dengan perbedaan agama atau perbedaan kewarganegaraan.
UU No. 1 tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara tersendiri dan menganggap perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya, yang sesuai dengan pasal 60 ayat (1) sesuai dengan tata cara hukum agama suaminya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 yang diberlakukan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita karena wanita tersebut tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan antara agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahah dengan tujuan untuk memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama Indonesia sepakat untuk melarang perkawinan beda agama karena kemudharatannya lebih besar daripada manfaat yang ditimbulkannya.
Perkawinan beda agama telah menyebabkan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu banyak yang menganut hukum agama ibunya daripada agama bapaknya. Selain dari itu, dari perkawinan antar agama dapat meresahkan karena hubungan silaturrahim antar keluarga menjadi putus. Oleh karena kemudharatannya lebih besar yang ditimbulkan dari perkawinan antar-agama cukup besar daripada manfaatnya, maka sudah selayaknya ketentuan tersebut dalam pasal 40 KHI Indonesia tetap dipertahankan.
Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria atau wanita Islam dengan wanita atau laki-laki tidak beragama Islam ijma ulama Indonesia tentang masalah ini harus tetap dipertahankan dan harus ditingkatkan dalam peraturan perundang-undangan dimasa yang akan datang. 

ANALISIS 
Konsep nikah beda agama di dalam negara Indonesia tidak diperbolehkan (karena perspektif bahwa beda agama yang dimaksudkan adalah nikah antara orang Islam dengan orang Nasrani).
Dilihat dari mafsadat-maslahat-nya, seorang laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan yang bukan dari kalangan muslim akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab, yaitu mendidik anak-anaknya secara Islam, karena kesempatan bergaul anak-anak lebih banyak dengan ibunya. Kesulitan itu akan diperparah lagi apabila istrinya (ibu anak-anak) masih fanatik terhadap agamanya.
Sedangkan dilihat dari segi sosial, perkawinan beda agama seringkali dijadikan media oleh orang-orang bukan muslim untuk melakukan pemurtadan. 

KESIMPULAN 
Dari pemaparan singkat ini, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa perkawinan beda agama terutama dari pandangan hukum Islam (fiqh) adalah dilarang walaupun dengan berbagai penafsiran-penafsiran yang lebih liberal ada yang membolehkan perkawinan beda agama, baik itu laki-laki muslim kepada wanita musyrik ataupun sebaliknya. Dalam perspektif hukum Islam sedikitnya ada tiga ketentuan pernikahan beda agama itu, pertama pelarangan kepada semua kaum muslimin baik laki-laki atau perempuan untuk tidak menikahi calon pasangannya sebelum mereka sama-sama beriman. Kedua, berisi larangan menikahkan wanita-wanita muslim kepada laki-laki yang tidak seiman atau kafir, terakhir ialah membolehkan menikahi perempuan ahli kitab.
Sedangkan UU Perkawinan yang karena mengandung pluralitas hukum sesuai dengan undang-undang dasar membolehkan perkawinan beda agama yang dalam UU Perkawinan disebut “perkawinan campuran” dengan ketentuan pernikahan dilakukan sesuai dengan adat/tata kebiasaan hukum agama suaminya. Selanjutnya secara tegas KHI pasal 40 dengan tegas menolak pernikahan beda agama dalam segala bentuknya, dengan alasan untuk memelihara apa yang biasa disebut maqasyid al-syari’ah. 

DAFTAR PUSTAKA 
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2003.
Kartohadprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Muhammad, Muhammad Uwaidah Syaikh Kamil, al-jami’ fil Fiqhi an-Nisa’, Beirut, Lebanon: Daarul Kutub al-Ilmiyah, terjemah Indonesia (Pentj. M. Abdul Ghafar, E.M), Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
Siddik, Mr. Haji Abdullah, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: 1983.
Subadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKiS.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.