INTERELASI NILAI JAWA ISLAM DALAM ASPEK KEPERCAYAAN DAN RITUAL

28 Oktober 2009

INTERELASI NILAI JAWA ISLAM DALAM ASPEK KEPERCAYAAN DAN RITUAL

Agama adalah sesuatu yang datang dari Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan kebahagiaan ukhrowi. Adapun kebudayaan adalah semua produk aktifitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan [dalam hal ini kecerdasan]. [1]
Al Islam hanyalah satu, tetapi kebudayaan Islam tidaklah satu. Sedemikian banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif ruang dan waktu, sesuai dengan tempat dan masa para pencipta dan pengembang kebudayaan tersebut.[2]
Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk memodifikasikan Islam dengan kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil interelasi nilai Jawa Islam dengan nilai kepercayaan dan ritual Jawa.
A. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam Aspek Kepercayaan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi berarti hubungan satu sama lain.[3] Jadi yang dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan.
Agama di dalam memainkan perannya dalam masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamanya. Terdiri dari dua kelas penting, yaitu ritual dan ketaatan.[4] Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci dan gaib itu dinamakan kepercayaan.
Sebelum Islam dating, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan [samsara], hukum karma dan hidup bahagia abadi [moksa]. Disamping itu juga ada yang bersumber pada ajaran Budha yang ditandai dengan adanya percaya pada Tuhan [Sang Hyang Adi Budha], selain itu juga ada kepercayaan animisme dan dinamisme.
Setelah kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan dengan dan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa arab menjadi fenomena Jawa.[5]
Salah satu prinsip utama dalam pemikiran keagamaan Jawa adalah segala sesuatu yang ada tersusun dari wadah dan isi. Alam, bentuk fisik tubuh dan kesalehan normative adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman dan mistisme merupakan isi. Kalangan mistiskus Jawa meyakini, pada akhirnya isi lebih berarti daripada wadah, sebab merupakan kunci kesatuan mistik.[6]
Agama Islam orang Jawa bersifat sinkretis dan agama Islam puritan bersifat sinkretis, karena keduanya menyatukan unsur-unsur pra Hindu, Hindu dan Islam. Agama Islam puritan adalah yang mengikuti agama secara lebih taat.[7]
Sebelumnya perlu diketahui, bahwasanya ada dua manifestasi dari agama Islam Jawa yang cukup berbeda, yaitu Agama Jawi dan Agama Islam Santri. Sebutan yang pertama berarti “ agama orang Jawa”, sedangkan yang kedua berarti “agama Islam yang dianut orang santri”.
Bentuk agama Islam orang Jawa yang disebut Agami Jawi atau Kejawen Itu adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Varian agama Islam santri, yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.
Agama Jawi ini lebih dominan di daerah-daerah Negarigung di Jawa Tengah, di Bagelen dan di daerah Mancanegari, sedangkan agama Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan pesisir Surabaya, daerah pantura, ujung timur pulau Jawa, serta daerah-daerah pedesaan di lembah sungai Solo dan sungai Brantas.[8]
1. Sistem Keyakinan Agami Jawi
Sistem budaya Agami Jawi setaraf dengan system budaya dari agama yang dianut orang Jawa. Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin adanya Allah, Muhammad sebagai pesuruh Allah, yakin adanya Nabi-nabi lain dan tokoh-tokoh Islam keramat, yakin adanya konsep dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah mati, yakin adanya makhluk-makhluk halus jelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni roh-roh penjaga, yakin adanya setan hantu dan raksasa dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan ghaib dalam alam semesta ini.
2. Sistem Keyakinan Islam Santri
Sistem keyakinan Islam santri baik penduduk pedesaan maupun kota berawal dari enkulturasi, mereka dilatih membaca al-Qur’an yang terdiri dari konsep-konsep puritan mengenai Allah, Nabi Muhammad, mengenai penciptaan dunia, perilaku yang baik dan buruk, kematian dan kehidupan dalam dunia akhirat, yang semua telah dipastikan adanya. Orang santri di pedesaan umumnya menerima konsep-konsep ini sebagaimana adanya tanpa mempedulikan mengenai interpretasinya; akan tetapi para santri di kota biasanya memperhatikan moral serta etika dari interpretasi dari ajaran-ajaran tersebut.[9]
Lebih simpelnya dari aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah tercampur dengan keyakinan Jawa [Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme], diantaranya sebutan Allah menjadi Gusti Allah, Ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir). Disamping itu juga ada Hyang Jagad Nata (Allah Rabb al-Amien), kata Hyang berarti Tuhan atau Dewa. Dikalangan umat Islam Jawa masih ada bekas dan pengaruh kepercayaan animisme yang dapat kita saksikan dalam bentuk baru. Misalnya zaman dahulu azimat dibuat dari kuku harimau, saat ini dibuat dengan secarik kertas yang ditulis dengan petikan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam aspek ketentuan takdir baik buruk dari Tuhan, tradisi Jawa dipengaruhi oleh teologi Jabariyah yang menyebabkan orang Jawa lebih bersikap pasrah, sumarah dan nrimo ing pandum terhadap takdir Allah.
B. Interelasi Nilai Jawa Islam dalam Aspek Ritual
Menurut R. Stark dan C.Y. Glock yang dikutip Chalifah Jama’an, mereka mengatakan bahwa ritual mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang diwujudkan dalam kebaktian, persekutuan suci, baptis, perkawinan dan semacamnya. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air. Apabila aspek ritual adalah komitmen formal dan khas publik, maka ketaatan merupakan perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal, informal dan khas peribadatan yang diwujudkan melalui sembahyang, membaca kitab suci dan ekspresi lain bersama-sama.[10]
Menurut orang Jawa, mempercayai bahwa ada hubungan antara manusia yang tinggal di alam nyata ini dengan dunia ghaib yang tidak kasat mata, agar tidak saling mengganggu perlu adanya ritual. Pada dasarnya kehidupan orang Jawa penuh dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia, upacara itu dilaksanakan untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan ghaib yang tidak dikehendaki dan sesaji atau korban yang disajikan kepada daya kekuatan ghaib (roh-roh, makhluk halus, dewa-dewa) tertentu.
Sebagaimana yang dilakukan orang Jawa, agama Islam juga menganjurkan kepada pemeluknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan ritualistic tertentu. Bentuk kegiatan ritual ini tercantum dalam rukun Islam yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Beberapa jalan ritual dalam Islam yang telah menyatu dengan masyarakat Jawa adalah shalat dan puasa. Menurut Islam, shalat itu merupakan do’a yang ditujukan kepada Allah SWT, sedangkan orang Islam Jawa shalat sebagai sarana bersih diri dan dipandang sebagai pencapaian kesempurnaan ritual.
Puasa merupakan penyucian rohani.[11] Menurut Ronggowarsito, puasa itu dapat ditukar dengan kata tapa, karena pelaksanaan tapa selalu dibarengi dengan puasa. Dalam Islam kejawen, tapa itu merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin dalam pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuan dari bertapa adalah untuk mendapatkan kesaktian[12] dan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib.
Dengan seiringnya waktu, Islam memberikan warna baru dalam upacara yang hakikatny merupakan upaya pendidikan budi pekerti terhadap orang Jawa. Seperti halnya upacara “sedekah bumi” yang masih ada hampir merata di desa-desa terutama di pulau Jawa. Upacara ini biasanya diadakan setelah panen sebagai bentuk terima kasih kepada “Dewi Sri”. Meskipun bentuknya berubah menjadi selametan[13] dengan membaca do’a secara Islam.[14] Selametan di sini merupakan bentuk sinkretisme ajaran Agama Islam dengan nilai Jawa. Demikian juga dengan bancakan dan kenduren.
Sedangkan bancakan merupakan upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur yang berkaitan dengan masalah pemerataan terhadap kenikmatan, kekuasaan dan kekayaan, dengan tujuan menghindari terjadinya konflik yang disebabkan pembagian yang tidak adil. Biasanya dilakukan dalam acara bagi waris, keuntungan usaha dan sebagainya. Dan yang dimaksud kenduren adalah upacara sedekah makan, karena seseorang telah memperoleh anugerah atau kesuksesan sesuai yang dicita-citakan, yang bersifat personal. Biasanya dilaksanakan pada kenaikan pangkat, lulus ujian dan kesuksesan yang lain.
Menurut Geertz dan Koentjoroningrat mengemukakan, berbagai upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup, antara lain :
1. Upacara Tingkeban atau Mitoni
Yaitu ritual pertama dari siklus kelahiran manusia, pada saat janin berusia tujuh bulan dalam rahim ibu. Dalam upacara ini dipersiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wayang Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih supaya si bayi seperti sang Dewa jika laki-laki dan seperti sang Dewi jika perempuan. Kemudian sang ibu dimandikan oleh para ibu-ibu dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga, dan kantil) yang biasa dinamakan tingkeban.
2. Upacara Kelahiran
Slametan pertama yang berhubungan dengan lahirnya bayi dinamakan brongkohan. Dan saat anak diberi nama dan pemotongan rambut (cukur) yang berumur tujuh hari yang disebut sepasar.
Dalam tradisi Islam disebut dengan korban aqiqah (kekah) yang ditandai dengan penyembelihan kambing dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan.
3. Upacara Sunatan
Upacara sunatan ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Pelaksanaan khitan ini merupakan perwujudan secara nyata tentang hukum Islam. Sunatan ini sering disebut selam (nyelamaken) yang mengandung makna meng-Islamkan (ngIslamaken).
4. Upacara Perkawinan
Upacara ini dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang rumah tangga. Upacara ini ditandai dengan pelaksanaan syari’at Islam yaitu akad nikah (ijab qabul) dan diiringi dengan slametan.
Akad nikah ini dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Sedangkan slametan ini dilakukan dengan bertahap dari sebelum akad nikah, akad nikah dan sesudah akad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin).
Dalam budaya Jawa misalkan daerah Solo dan Yogyakarta, setelah pengantin ijab qabul kemudian acara temu dengan iringan gending kodok ngorek. Setelah berjarak dua meter kedua pengantin saling melempar daun sirih (jika lemparannya lebih cepat sampai menandakan kehidupan dalam pernikahan akan selalu menang) dan seterusnya.
Sedangkan perkawinan di wilayah pantai utara Jawa, aturan-aturan Islam bersumber dari al-Qur’an dan teks-teks bahasa Arab, di desa-desa pedalaman hukum Islam itu bercampur dengan unsur-unsur Hindu non Islam. Meskipun begitu, substansi peraturan yang bersumber dari Fiqh, terutama dalam kasus-kasus perkawinan tetap utuh. Jika ada unsur-unsur lokal, itu hanyalah terbatas dalam upacara-upacara. Pengaruh upacara adat lokal terhadap prosesi perkawinan ada dua bagian: pertama, di daerah-daerah yang kuat pengaruh santrinya,[15] tradisi lokal semakin menipis. Sedangkan kedua di daerah-daerah yang kuat tradisinya, upacara-upacara yang berasal dari Hindu-Budha atau tradisi setempat dipertahankan. Meskipun begitu, substansi perkawinan, seperti syarat dan rukun, masih sepenuhnya Islam.[16]
5. Upacara Kematian
Upacara yang dilaksanakan saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada akhirnya menguburkan jenasah ke pesarean (pemakaman). Selama sepekan setelah penguburan diadakan tahlilan tiap malam hari yang dinamakan slametan mitung dino, yaitu kirim do’a kepada si jenasah yang didahului dengan bacaan tasybihtahmidtakbirtahlil dan shalawat pada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana budaya Jawa, slametan ini dilakukan sampai mendaknya orang yang meninggal. Di samping itu juga ada upacara nyadran yaitu upacara ziarah kubur pada waktu menjelang bulan Ramadhan.
Selain dari beberapa upacara-upacara tersebut, ada juga upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup yaitu upacara atas kekeramatan bulan-bulan hijriyah dan upacara tahunan. Pada kekeramatan bulan-bulan hijriyah ada upacara bakda besar, suran, saparan, rejeban, syawalan (kupatan).[17] Sedangkan upacara tahunan seperti Mauludan pada tanggal 12 bulan Maulud atau Rabiul Awal (peringatan hari lahir Nabi Muhammad saw), nisfu sya’ban pada pertengahan bulan Sya’ban (ruwah).

KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tradisi orang Jawa merupakan gabungan antara kepercayaan agama Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme dan agama Islam. Agama Islam ini merupakan agama yang banyak diminati orang Jawa, karena agama yang relatif sesuai dengan budaya Jawa.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya sering terjadi percampuran antara agama Hindu, Budha dengan Islam. Dari beberapa percampuran nilai-nilai Jawa dengan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual in menghasilkan ajaran Islam yang mudah dipahami oleh masyarakat Jawa. Dari nilai-nilai kepercayaan (rukun iman) sampai nilai-nilai ritual (rukun Islam) yang bercampur dengan nilai-nilai Jawa seperti upacara slametan dan kepercayaan terhadap makhluk halus.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. Darori, [ed], Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Amir, Wardan, Perbandingan Agama, jilid I, Semarang: Toha Putra, t.th.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, cet. 3.
Ismawati, Keilmuan Islam di Pesisir Utara Jawa Abad ke 15-17, (Makalah Stadium General IAIN Walisongo Semarang), 2005.
Jurnal Wahana Akademika; VI. 02, September 2004.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.
Mulder, P.J. Zaet, Manunggaling Kawula Gusti, terj. Dick Hartoko, Jakarta: PT. Gramedia, 1990.
Muthohar, Abdul Hadi, Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985.
Rais, M. Amin, Islam di Indonesia, Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Rajawali, 1986.
Shiddiq, Nourouzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: 1996.
Woodward, Mark R., Islam Jawa, Kesalahan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKIS, 2004, cet.2.

[1] Prof. Dr. Nourouzzaman Shiddiq, M.A, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: 1996, cet.1, hlm. 258
[2] M. Amin Rais, Islam di Indonesia, Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Rajawali, 1986, hlm.92
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, cet.3, hlm. 438
[4] Dikutip dari [Robert Son, 1988: 296] Oleh H.R. Chalifah Jama’an, Jurnal Wahana Akademika ; VI.02, September 2004, hlm. 283.
[5] Drs. M. Darori Amin, M.A. [ed], Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm.123
[6] Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalahan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKIS,2004, cet.2, hlm. 109-110
[7] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 310
[8] Ibid. hlm.312-313
[9] Ibid. hlm.379-380
[10] H.R. Chalifah Jama’an, loc.cit.
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 37.
[12] Dalam telaah “Het Primitive in Palkengebruiken” (Alam Pikiran Primitif dan Menolak Bahaya Cacar), Mr. Van Assenbruggen telah menunjukkan bukti-bukti meyakinkan, sekalipun tak selalu meyakinkan, serta kesimpulan umum lebih luas jangkauannya dari pada yang terkandung dalam premis-premis. Kata “sakti” yang digunakan orang Jawa untuk menunjukkan pengertian tersebut. membuktikan, bahwa konsep “kekuatan potensialitas” menonjol. Bukankah “sekti” berasal dari Sansekerta “sakti”, yaitu kekuatan, kekuasaan, daya (suku “sac” = bias, kemampuan). P.J. Zaet Mulder, Manunggaling Kawula Gusti, terj. Dick Hartoko, Jakarta: PT. Gramedia, 1990, hlm. 89-90.
[13] Slametan adalah upacara sedekah makan dan do’a bersama dengan tujuan untuk memohon keselamatan dan ketenteraman untuk ahli keluarganya yang menyelenggarakan (shohibul hajat), biasanya dilakukan waktu keberangkatan naik haji, keberangkatan anak yang mau sekolah ke luar kota, pendirian rumah dan sebagainya. Slametan ini merupakan kegiatan batiniyah untuk mendapatkan ridho dari Allah, dan ada yang meyakini bahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan. Pelaksanaan dipimpin oleh modin, kaum,. Kyai. Drs. M. Darori Amin, M.A., op.cit., hlm. 123.
[14] Wardan Amir, BA., Perbandingan Agama, jilid I, Semarang: Toha Putra, t.th., hlm. 22.
[15] Kata santri berasal dari kata cantrik (Jawa) yang berarti belajar mengikuti gurunya untuk mempelajari kitab suci agama Hindu. Sebelumnya berasal dari shastri (Tamil) yang berarti orang yang mempelajari kitab suci Hindu. Dr. Hj. Ismawati, M.Ag., Keilmuan Islam di Pesisir Utara Jawa Abad ke 15-17, (Makalah Stadium General IAIN Walisongo Semarang), 2005, hlm. 5.
[16] Dr. Abdul Hadi Muthohar, M.A., Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003, hlm. 33.
[17] Kupat (kulo lepat) menurut penulis yaitu suatu simbol sebagai ungkapan seorang si pembuat kupat bahwa manusia itu memiliki banyak kesalahan (kelepatan) sehingga para pengunjung yang datang ke rumahnya mau memaafkan kesalahan si pemilik rumah.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.