AL-BAQILANI : SIFAT TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA

29 Juni 2009

AL-BAQILANI : SIFAT TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA

  1. PENDAHULUAN

Al-Baqilani adalah salah seorang pengikut dan tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Sebagai murid al-Asy’ari melalui dua muridnya, Ibn Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili. Namun, ia tidak begitu saja menerima ajaran al-Asy’ari. Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan gurunya, al-Asy’ari.1 Ini dapat terjadi karena perbedaan waktu dan tempat masing-masing. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada perbedaan pendapat, meskipun antara murid dan gurunya. Ini menunjukkan pula bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran hanya bersifat relatif dan dapat menerima perubahan.


  1. BIOGRAFI AL-BAQILANI

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqilani. Wafat tanggal 23 Zul Qa’dah 403 H/ 1013 M di Baghdad.2 Ia pernah menjadi hakim agung dan menonjol dalam berbagai pertemuan ilmiah, terutama dalam pembahasan usul fiqh dan ilmu kalam.

Karya tulisnya sebanyak 55 kitab, namun yang dapat dijumpai hanya 6 kitab, yaitu al-Izaz al-Qur’an; Tamhid; al-Insaf; yang berisi petunjuk singkat pandangan aliran Sunni dan rincian bahasan tentang al-Qur’an tidak diciptakan, qadr, melihat Tuhan dan syafa’at. Manaqib, berisi pembelaan Sunni pada kedudukan pemimpin. Intinsar yang membahas kedudukan lafaz al-Qur’an. Dan al-Bayan yang membahas kenabian.

Dari karya al-Baqilani mendapat gambaran yang jelas tentang perkembangan ilmu kalam Asy’ariyah, serta pemikiran pendahulunya seperti Ibn Furak, Abu Ishaq al-Isfarani dan al-Asy’ari sendiri. Kitab al-Luma’ karya al-Asy’ari menjadi jelas setelah disusun ulang oleh al-Baqilani. Ibn Taimiyyah menyebut al-Baqilani sebagai ahli ilmu kalam Asy’ariyah yang paling cemerlang, pembuka cakrawala pendahulu dan para pengikutnya.3


  1. MASALAH SIFAT TUHAN

Pemikiran al-Baqilani tentang sifat Tuhan berbeda dengan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Bagi al-Asy’ari, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, sebab dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm), tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian juga dengan sifat-sifat lain, seperti sifat hayyun, ‘alimun, qadirun, mutakallimun, sami’un, basirun.4

Al-Baqilani menolak pendapat al-Asy’ari tentang adanya sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang disebut al-Asy’ari, bukanlah sifat, tetapi hal, dan ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah,5 meskipun pada mulanya ia mempunyai pendapat yang sebaliknya.

Pada mulanya al-Baqilani menerima pandangan al-Asy’ari tentang sifat-sifat Tuhan, yang kemudian ia kembangkan dan ia bagi menjadi dua bagian, yaitu : sifat zat dan sifat fi’il. Sifat Zat adalah sifat yang senantiasa disifatkan kepada Tuhan, yaitu : al-Hayyah, al-‘Ilm, al-Qudrah, al-Sam’u, al-Basar, al-Iradah, al-Baqa’, al-Wajhu, al-Ainani, al-Yadani, al-Ghadab, al-Rida, dan al-Idrak. Sedang sifat fi’il adalah al-Khalq, al-Rizq, al-‘Adl, al-Ihsan, al-Tafadul, al-In’am, al-Tawab, al-‘Iqab, al-Hasyr dan al-Nasyr.6 Kemudian semua sifat itu ia namakan hal yang sesuai dengan pendapat Abu Hasyim yang Mu’tazilah itu.


  1. MASALAH PERBUATAN MANUSIA

Masalah perbuatan manusia, al-Baqilani berbeda pendapat dengan gurunya, al-Asy’ari, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia sendiri dengan istilah kasb,7 dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia itu tidak mempunyai efek,8 dalam arti, semua perbuatan manusia seluruhnya diciptakan oleh Tuhan.

Bagi al-Baqilani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia, sedang bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk; duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jins) adalah ciptaan Tuhan, sedang duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya adalah species (na’u) dari gerak adalah perbuatan manusia sendiri. Manusialah yang membuat gerak yang diciptakan Tuhan mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya.9 Dengan demikian jika bagi al-Asy’ari, daya manusia tidak mempunyai efek. Tetapi bagi al-Baqilani, daya itu mempunyai efek.

Kemudian untuk menjelaskan pendapatnya itu, al-Baqilani menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada terdiri dari tiga unsur, yaitu jisim, jauhar (substansi atau atom) dan arad (aksiden), dan ketiganya itu telah diadakan, dan yang mengadakan adalah Tuhan.10 Kemudian ia menerangkan tentang perbuatan manusia, karena manusia mengetahui dari dirinya perbedaan antara duduk, berdiri dan berbicara jika terjadi sesuai dengan ikhtisar dan maksudnya. Pada kejadian itu, jauhar netral dan kemudian menerima ‘arad. Gerak perpaduan antara jauhar dan ‘arad itu menimbulkan perbuatan, maka adanya perbuatan itu merupakan hasil dengan daya yang hadits, hal ini disebut kasb. Dengan demikian kasb itu merupakan asas dari daya yang hadits.11


  1. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

    1. Meskipun al-Baqilani pengikut dan murid dari al-Asy’ari, tetapi dalam hal tertentu ia berbeda pendapat dengan gurunya, al-Asy’ari.

    2. Tentang sifat Tuhan yang diakui adanya oleh al-Asy’ari, semula al-Baqilani menerimanya. Namun, kemudian ia mengembangkannya dengan menyebutnya hal seperti pandangan Abu Hasyim dari Mu’tazilah.

    3. Tentang perbuatan manusia juga berbeda pendapat dengan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa perbuatan manusia tidak mempunyai efek, karena diciptakan oleh Tuhan. Tetapi, al-Baqilani menyatakan perbuatan manusia mempunyai sumbangan yang efektif, dengan membedakan antara gerak yang diciptakan Tuhan dengan bentuk atau sifat dari gerak yang diciptakan oleh Manusia.

Demikianlah uraian singkat ini, tak lain semoga ada manfaatnya. Kritik dari para pembaca diterima dengan senang hati.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali ibn Isma’il, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.

Al-Badawi, Abd ar-Rahman, Mazahib al-Islamiyyin, I, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayyin, 1971.

Al-Syahrastani, Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Gibb, H.A.R., dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1974.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V.

------------------------

1 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V, hlm. 71.

2 Ibid.

3 H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1974, hlm. 958.

4 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952, hlm. 30-31. Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 95.

5 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, ibid.

6 Abd ar-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, I, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayyin, 1971, hlm. 615.

7 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, op.cit., hlm. 71-72.

8 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit., hlm. 97.

9 Ibid., hlm. 97-98.

10 Abd ar-Rahman al-Badawi, op.cit., hlm. 601.

11 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit., hlm. 97.




Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.