POLA ASUH DALAM PERSPEKTIF AJARAN ISLAM

5 Mei 2011

POLA ASUH DALAM PERSPEKTIF AJARAN ISLAM

Anak adalah amanat bagi orang tua, hatinya yang suci bagaikan mutiara yang bagus dan bersih dari setiap kotoran dan goresan.[1] Anak merupakan anugerah dan amanah dari Allah kepada manusia yang menjadi orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan masyarakat bertanggungjawab penuh agar supaya anak dapat tumbuh dan berkembang manjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan yang dialami dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat dan sekolahnya. Karena manusia menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya ditempuh melalui pendidikan, maka pendidikan anak sejak awal kehidupannya, menempati posisi kunci dalam mewujudkan cita-cita “menjadi manusia yang berguna”.
Dalam Islam, eksistensi anak melahirkan adanya hubungan vertikal dengan Allah Penciptanya, dan hubungan horizontal dengan orang tua dan masyarakatnya yang bertanggungjawab untuk mendidiknya menjadi manusia yang taat beragama. Walaupun fitrah kejadian manusia baik melalui pendidikan yang benar dan pembinaan manusia yang jahat dan buruk, karena salah asuhan, tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama Islam.
Anak sebagai amanah dari Allah, membentuk 3 dimensi hubungan, dengan orang tua sebagai sentralnya. Pertama, hubungan kedua orang tuanya dengan Allah yang dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, hubungan anak (yang masih memerlukan banyak bimbingan) dengan Allah melalui orang tuanya. Ketiga, hubungan anak dengan kedua orang tuanya di bawah bimbingan dan tuntunan dari Allah.[2]
Dalam mengemban amanat dari Allah yang mulia ini, berupa anak yang fitrah beragama tauhidnya harus dibina dan dikembangkan, maka orang tua harus menjadikan agama Islam, sebagai dasar untuk pembinaan dan pendidikan anak, agar menjadi manusia yang bertaqwa dan selalu hidup di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT., dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun juga keadaannya, pribadinya sebagai manusia yang taat beragama tidak berubah dan tidak mudah goyah.
Mendidik anak-anak menjadi manusia yang taat beragama Islam ini, pada hakekatnya adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri pribadi manusia, yaitu beragama tauhid, agama Islam.
Seorang anak itu mempunyai “dwi potensi”yaitu bisa menjadi baik dan buruk. Oleh karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik anaknya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, agama Islam agar anak-anaknya dapat berhubungan dan beribadah kepada Allah dengan baik dan benar. Oleh karena itu anak harus mendapat asuhan, bimbingan dan pendidikan yang baik, dan benar agar dapat menjadi remaja, manusia dewasa dan orang tua yang beragama dan selalu hidup agamis. Sehingga dengan demikian, anak sebagai penerus generasi dan cita-cita orang tuanya, dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat memenuhi harapan orang tuanya dan sesuai dengan kehendak Allah.[3]
Kehidupan keluarga yang tenteram, bahagia, dan harmonis baik bagi orang yang beriman, maupun orang kafir, merupakan suatu kebutuhan mutlak. Setiap orang yang menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut untuk dapat menjalankan bahtera keluarga itu dengan baik. Kehidupan keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan masalah besar yang tidak bisa dianggap sepele dalam mewujudkannya. Apabila orang tua gagal dalam memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik dalam membina hubungan masing-masing pihak maupun dalam memelihara, mengasuh dan mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, perhiasan dunia, akan terbalik menjadi bumerang dalam keluarga, fitnah dan siksaan dari Allah.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak ini, ajaran Islam yang tertulis dalam al-Qur’an, Hadits, maupun hasil ijtihad para ulama (intelektual Islam) telah menjelaskannya secara rinci, baik mengenai pola pengasuhan anak pra kelahiran anak, maupun pasca kelahirannya. Allah SWT memandang bahwa anak merupakan perhiasaan dunia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 46;
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيوةِ الدُّنْيَا ج وَالْبقِيتُ الصّلِحتُ خَيْرٌ عِنْدَ رِبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلاً. {الكهف: 46}
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.[4] (QS. al-Khafi: 46)

Dalam ayat lain Allah berfirman;
يآيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا…{ التّحريم : 6 }.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ….[5] (QS. at-Tahrim: 6)

Dengan demikian mendidik dan membina anak beragam Islam adalah merupakan suatu cara yang dikehendaki oleh Allah agar anak-anak kita dapat terjaga dari siksa neraka. Cara menjaga diri dari apa neraka adalah dengan jalan taat mengerjakan perintah-perintah Allah.
Sehubungan dengan itu maka pola pengasuhan anak yang tertuang dalam Islam itu dimulai dari:[6]
1.      Pembinaan pribadi calon suami-istri, melalui penghormatannya kepada kedua orang tuanya
2.      Memilih dan menentukan pasangan hidup yang sederajat (kafa’ah).[7]
3.      Melaksanakan pernikahan sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam
4.      Berwudlu dan berdo’a pada saat akan melakukan hubungan sebadan antara suami dan istri
5.      Menjaga, memelihara dan mendidik bayi (janin) yang ada dalam kandungan ibunya.
6.      Membacakan dan memperdengarkan adzan di telinga kanan, dan iqamat ditelinga kiri bayi
7.      Mentahnik anak yang baru dilahirkan. Tahnik artinya meletakkan bagian dari kurma dan menggosok rongga mulut anak yang baru dilahirkan dengannya, yaitu dengan cara meletakkan sebagian dari kurma yang telah dipapah hingga lumat pada jari-jari lalu memasukkannya ke mulut anak yang baru dilahirkan itu. Selanjutnya digerak-gerakkan ke arah kiri dan kanan secara lembut. Adapun hikmah dilakukannya tahnik antara lain; pertama, untuk memperkuat otot-otot rongga mulut dengan gerakan-gerakan lidah dan langit-langit serta kedua rahangnya agar siap menyusui dan menghisap ASI dengan kuat dan alamiah, kedua, mengikuti sunnah Rasul. [8]
8.      Menyusui anak dengan air susu ibu dari usia 0 bulan sampai usia 24 bulan
9.      Pemberian nama yang baik.
Oleh karena itu pada setiap muslim, pemberian jaminan bahwa setiap anak dalam keluarga akan mendapatkan asuhan yang baik, adil, merata dan bijaksana, merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Lantaran jika asuhan terhadap anak-anak tersebut sekali saja kita abaikan, maka niscaya mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan berkembang secara sempurna.[9]



[1] Imam Ahmad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), hlm. 130.
[2] Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 5.
[3] Ibid. hlm. 5.
[4] Muhammad Noor, dkk.,  Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya , (Semarang: CV. Toha Putra, 1996), hlm. 238.
[5] Ibid., hlm. 448.
[6] A. Tafsir, dkk., op. cit., hlm. 132-148.
[7] Maksud kafa’ah disini adalah calon suami, sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Lihat dalam Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (terj.) Moh. Thalib, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm. 36.
[8] Abdullah Nasikh Ulwan, Tarbiyatul al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Salam, 1981), hlm. 75.
[9]Abdur Razak Husain, Hak dan Pendidikan Anak Dalam Islam, (Semarang: Fikahati Aneska, t.t.), hlm. 62.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.