IMAM AL-GHAZALI

19 November 2009

IMAM AL-GHAZALI

Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali, dia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M (setelah Dinasti Seljuk merebut kekuasaan di Baghdad, di kampung Gazalah daerah Tus, wilayah Khurasan. Ayahnya bernama Muhammad, dia adalah seorang penenun dan mempunyai toko tenun di kampungnya. Kehidupannya sangat miskin, tetapi dia seorang pecinta ilmu yang taat menjalankan agama. Ayah al-Ghazali meninggal ketika al-Ghazali masih kecil. Al-Ghazali dititipkan di sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi murid-muridnya. Guru al-Ghazali yang utama di madrasah itu adalah Yusuf al-Nassaj, seorang sufi terkenal.
Pada masa kecilnya, al-Ghazali juga belajar pada Ahmad bin al-Razakani (seorang faqih), lalu dia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr al-Isma’ili. Setelah itu dia kembali ke Tus dan terus pergi ke Naisabur. Di sini dia belajar pada salah seorang teolog aliran Asy’ariyah yang terkenal yaitu Abu al-Ma’ali al-Juwaini, yang bergelar Imam al-Haramain. Di sini al-Ghazali belajar tentang studi teologi yang mendasari diri pada mempelajari al-Qur’an, hadits, dan hukum Islam sesuai madzhab Imam Syafi’i. Beberapa waktu kemudian, al-Ghazali diangkat sebagai dosen di sekolah agama Nizamiyah di Baghdad, tempatnya mengajar teologi dan hukum Islam.
Tahun 1095, al-Ghazali mengalami sejumlah goncangan batin, sebuah krisis spiritual, sebagai akibat dari sikap keragu-raguannya, sikapnya ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya, yaitu :
1. Apakah pengetahuan yang hakiki itu?
2. Apakah ia diperoleh melalui indra atau melalui akal?
Pernyataan-pertanyaan inilah yang pada akhirnya memaksanya untuk menyelidiki kebenaran-kebenaran pengetahuan manusia. Hampir 6 bulan dia terombang-ambing antara dunia dan akhirat. Pada tahun 488 H/1095 M, al-Ghazali pergi ke tanah Syam, kota Damaskus untuk berkhalwat (menghindarkan diri dari segala hiruk pikuk manusia, mengasingkan diri di puncak masjid Jami’ di kota Damaskus). Dia berkhalwat selama 2 tahun.
Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan, menulis dan mengajar, maka pada usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Kota Tus, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M.

AJARAN-AJARAN AL-GHAZALI

Menurut al-Ghazali, orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi orang tidak menggali sampai pada uratnya. Padahal kalau sekiranya digali sampai ke urat, filsafat tidaklah memperoleh pendirian ketuhanan, tapi hanyalah akan menggoyahkannya. Al-Ghazali menegakkan ilmu Kalam sebagai suatu ilmu. Kata-kata filsafat tidak lagi semata-mata dipinjamnya untuk menguatkan pendiriannya, tetapi telah diperbaikinya dan dijadikannya suatu ilmu yang tahan uji. Ghazali menggabungkan filsafat, lanjutan faham Socrates, Plato, Aristoteles, Zeno, Epicus, Diogenes, Aristippus, dan lain-lain. Al-Ghazali menarik kesimpulan bahwa “filsafat itu ialah mengemukakan akal, tetapi akal itu sendiri tidak senantiasa dapat dipercaya buat sanggup mencapai kebenaran yang mutlak”.

1. Al-Munqizu Minadh Dhalal

Dalam kitab ini dapat dilihat usaha Ghazali merenungi laut ma’rifat, menari tempat berpegang. Dilukiskannya bagaimana kesan dan perasaannya melihat masyarakat yang ada di sekelilingnya. Dipelajari setiap agama dan mazhab-mazhab yang ada dalam setiap agama, dipelajari pula filsafat.
Empat golongan yang ada dalam Islam mendapat bahasannya yang mendalam.
a. Kaum mutakallimin (ilmu kalam), ahli teologi Islam.
b. Ahli filsafat
c. Kaum batiniyah
d. Kaum sufiyah
Al-Ghazali kagum dengan filsafat, karena dengan filsafat kita bisa mengasah otak, terutama dalam hal ilmu pasti dan ilmu alam (riyadhah dan tabiat). Tetapi setelah sampai pada soal-soal ketuhanan, nyatalah filsafat hanya terawang akal manusia yang tidak senantiasa dapat dipegang. Dia berpendapat bahwa ketuhanan Aristoteles itu bertentangan dengan agama.
Kaum Dahry/kaum materialis memungkiri adanya yang menjadikan alam, dan berkata bahwa alam terjadi sendirinya. Kaum Naturalis yang meskipun mengakui adanya Yang Maha Bijaksana tetapi memungkiri bahwa manusia akan dibangkitkan lagi sesudah matinya, dan memungkiri adanya hari pembalasan (akhirat). Kaum filsafat ketuhanan, yang mengakui memang ada Tuhan, tetapi pengetahuan Tuhan itu hanya tentang perkara-perkara besar dan tidak meliputi juz-i (detail).
Kaum batiniah, berpendapat bahwa ilmu yang khusus tidaklah didapat dengan sembarangan saja. Ilmu “yang sejati” hanya dapat diturunkan dari “Imam yang Ma’shum”, yang suci dari kesalahan dan dosa.
Di dalam “al-Munqizu” tidak banyak beliau membicarakan batiniyah. Batiniyah banyak dikupas dalam buku al-Muztazhiri, al-Kisthsil Mustaqim, dan al-Hujjatul Haq. Kritik yang hebat kepada filsafat ditulisnya pada kitab “Tahafutul Falasifah”.

2. Tasawuf

Yang sangat menarik al-Ghazali dalam tasawuf ialah latihan-latihan jiwanya. Latihan mempertinggi sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) dan menahan dorongan nafsu buat sifat-sifat yang tercela (madzmumah), sehingga menjadi bersihlah hati sanubari. Maka, hati sanubari yang bersih itulah yang dapat mendekati Tuhan, ditambah lagi jika senantiasa dihiasi dengan dzikir, yaitu ingat atau menyebut Allah. Dipelajari dengan seksama perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya yang berhubungan dengan ilmu kebatinan. Bahkan dipelajari pula tarikh kehidupan Nabi Isa al-Masih as dan ditelaahnya kitab-kitab karangan kaum sufiyah, sebagai “Qutbul Qutub” karangan Abu Thalib al-Makki, kitab-kitab karangan al-Harits al-Muhasibi, fatwa dan buah renungan al-Junaidi, al-Syibhi, Abu Bustami, bahkan juga al-Hallaj.
Al-Ghazali menyusun buku “Ihya Ulumuddin” (menghidupkan kembali ilmu agama). Suatu buku yang membahas secara luas berbagai masalah keagamaan. Suatu kesanggupan menghidangkan soal besar dalam bahasa yang mudah, gabungan kejernihan otak dengan perasaan hati yang murni. Satu filsafat yang luhur dari seorang anti filsafat. Suatu jelmaan fikiran tinggi dari seorang yang tidak hanya mengemukakan fikiran. Satu kitab buat menyempurnakan faham tentang rahasia Qur’an, satu sastra yang bukan saja untuk muslimin, bahkan kebenaran untuk dunia. Dalam buku inilah dikawinkan kembali di antara lahir dengan batin di antara fiqhi dengan tasawuf dan ilmu kalam. Semuanya buat satu maksud, yaitu mengokohkan Iman dan Cinta kepada Tuhan Sarwa Sekalian Alam.

3. Ma’rifat

Ilmu sejati atau ma’rifat menurut Ghazali ialah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyyah. Wujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Allah dan perbuatan Allah. Allah dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Di sinilah al-Ghazali menjelaskan pendiriannya yang berbeda dengan al-Hallaj dan sufi lain yang berkesan. Wujudnya itu ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam seluruhnya ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya.

Karya-karya al-Ghazali

1. Dalam bidang filsafat
a. Maqasid al-Falasifah
b. Tahafut al-Falasifah
c. Al-Ma’arif al-Aqliyah
d. Mi’yar al-Ilm
2. Dalam bidang ilmu kalam
a. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
b. Al-Risalah al-Qudsiyah
c. Qawa’id al-Aqaid
d. Iljam al-‘Awam ‘an Ilm al-Kalam.
3. Dalam bidang fiqh dan ushul fiqh
a. Al-Wajiz
b. Al-Wasit
c. Al-Basith
d. Al-Musthafa
4. Dalam bidang tasawuf / akhlak
a. Ihya’ Ulum al-Din
b. Al-Munqiz min al-Dalah
c. Minhaj al-‘Abidin
d. Mizan al-‘Amal
e. Kimiya al-Sa’adah
f. Misykat al-Anwar
g. Al-Risalah al-Laduniyyah
h. Bidayah al-Hidayah
i. Al-Adab fi al-Din
j. Kitab al-Arbain.
5. Dalam bidang-bidang lain
a. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil
b. Jawahir al-Qur’an
c. Al-Mustazhiri
d. Hujjah al-Haqq
e. Mufassal al-Khilaf
f. Al-Darj
g. Al-Qistas al-Mustaqim
h. Fatihah al-‘Ulum
i. Al-Tibr al-Masbuk fi Wasihah al-Mulk
j. Suluk al-Sultanah

RELEVANSI AJARAN TASAWUF AL-GHAZALI

Dasar empiris al-Ghazali membentuk kekhasannya dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman untuk lebih memilih keutamaan filosofis yang dipahaminya menjelaskan dan mendukung keutamaan religius. Al-Ghazali sebenarnya hendak menegaskan tersedianya ruang kosong untuk program ilmu keislaman dalam perkembangan pengetahuan ilmiah. Karenanya, pengembangan dan pelestarian ilmu keislaman adalah mungkin sering pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan dan pelestarian ilmu keislaman ini pada zamannya sangat berarti dalam mempertahankan kekhasan ilmu-ilmu keislaman, yaitu al-ulum al-syar’iyyah atau ulum naqliyah dan ulum aqliyyah atau ghair syar’iyyah. Kekhasan ilmu-ilmu keislamannya ini memiliki pertahanan yang berbeda, yaitu :
1. Ilmu yang tidak bisa dirubah-rubah oleh manusia
2. Ilmu yang terus berkembang sesuai dengan pengalaman dan hasil penelitian manusia.
Dalam pengembangan dan pelestarian ilmu keislaman di Indonesia, yang kita butuhkan adalah bagaimana melestarikan bangunan epistemologis ulama abad pertengahan dan sekaligus membangun kematangan epistemologi peserta program ilmu keislaman untuk menjawab problem umat manusia, seperti problem kekeliruan mental, kekeliruan intelektual, kekeliruan rasio, paradigma-paradigma yang mengaburkan, dunia yang tak terduga, pengetahuan yang tidak pasti, spesialisasi tertutup, rasionalitas palsu, hilangnya aspek-aspek manusiawi dalam manusia, ketidakpastian sejarah, ketidakpastian realitas, ketidakpastian dalam pengetahuan, dan pemikiran reduktif. Teori empiris al-Ghazali memiliki keunggulan dalam melahirkan kekhasan ilmu-ilmu keislaman, yang relevan untuk pengembangan dan pelestarian ilmu keislaman di Indonesia.
Dalam perspektif pemikiran al-Ghazali, kajian Islam di Indonesia dapat diarahkan pada beberapa hal berikut:
  1. Sejauh manfaat yang diberikan kepada manusia dalam kehidupan keagamaan dan kehidupan akhirat, berupa penyentuhan jiwa, perbaikan akhlak, pendekatan diri kepada Allah dan persiapan untuk abadi.
  2. Sejauh manfaat yang diberikan kepada manusia dari segi kebutuhan dan dukungan yang diberikan untuk ilmu agama.
  3. Sejauh manfaatnya bagi kehidupan manusia.
  4. Sejauh manfaat yang diberikan dalam kebudayaan, kesejahteraan manusia serta keterlibatan pada kehidupan kemasyarakatan.
Dasar ilmu keislaman dalam perspektif al-Ghazali adalah adanya keterkaitan antara teori empirisme, keutamaan filosofis dan keutamaan religius. Untuk mengoperasionalkan empirismenya, al-Ghazali tidak hanya mengkaji persoalan-persoalan pengetahuan manusia, tetapi juga mengkaji dasar-dasar filsafat Yunani, perkembangan pemikiran ulama abad pertengahan (al-Farabi, Ibn Sina) dan mengkaji pokok-pokok teks al-Qur’an – sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002.
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, cet. 1.
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1994.
Syaikh Fadhialla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 cet. 1.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.