PERAN ORANG TUA

28 Oktober 2009

PERAN ORANG TUA

Secara etimologi, peran berarti bagian dari tugas utama yang harus dilakukan dan orang tua yang dianggap tua atau orang yang dituakan.[1] Jadi peran orang tua berarti tugas yang harus dilakukan oleh orang tua, dan orang tua terdiri dari ibu dan ayah yang mempunyai peran masing-masing.
1. Peran Wanita dalam Rumah Tangga
Menurut konsep tradisional, wanita yang dapat berperan melayani keperluan keluarga di rumah itu sangat terpuji, pendek kata terdapat pekerjaan yang disebut feminin, yang jika dikerjakan sepenuhnya oleh ibu rumah tangga di rumah itu mendatangkan penilaian yang baik bagi ibu.[2]
Peranan wanita dalam rumah tangga mencakup sikap hidup yang mantap mendampingi suami dalam situasi yang bagaimanapun juga disertai rasa kasih sayang, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan sebagai partner kerja, dan peran wanita dalam rumah tangga antara lain:
a. Peranan sebagai partner seks
Peranan wanita sebagai partner seks mengimplikasikan hal-hal sebagai berikut: terdapatnya hubungan heterosexual yang memuaskan, tanpa disfungsi (gangguan-gangguan fungsi) seks. Ada relasi sexual yang tidak berlebih-lebihan, tidak hypersexual, juga tidak kurang, dan kehidupan psikis yang stabil, imbang, tanpa konflik-konflik batin yang serius, ada kesediaan untuk memahami partnernya, serta rela berkorban.[3]
b. Peranan sebagai pengatur rumah tangga
Peranan wanita sebagai pengatur rumah tangga itu cukup berat. Dalam hal ini terdapat relasi-relasi formal dan semacam pembagian kerja, dimana suami bertindak sebagai pencari nafkah dan istri berfungsi sebagai pengurus rumah tangga. Dalam pengurusan rumah tangga yang sangat penting ialah faktor kemampuan membagi-bagi waktu dan tenaga untuk melakukan 1001 macam tugas pekerjaan di rumah, dari subuh sampai malam.
c. Peranan sebagai partner hidup
Peranan wanita sebagai partner hidup bagi suami memerlukan kebijaksanaan, taat, mampu berfikir luas dan sanggup mengikuti gerak langkah atau karier suami. Dengan begitu akan terdapat kesamaan pandangan perasaan dan latar belakang kultural yang sesuai sederajat, hingga bisa dikurangi segala macam salah paham, sehingga semakin kecillah resiko timbulnya perceraian.[4]
Sedangkan menurut konsep perkembangan, lebih mengutamakan individualitas seseorang, apakah itu istri atau suami. Konsep-konsep menurut perkembangan itu, meletakkan penekanan pada adanya kesamaan status bagi orang tua. Dan peran ibu (wanita), dalam konsep perkembangan mempunyai tugas dan kerja sendiri dalam membangkitkan potensi-potensi mereka. Di dalam rumah, istri mempunyai peranan yang sama rata dengan suami, sedangkan ibu rumah tangga dalam konsep perkembangan mengutamakan membimbing anak sesuai dengan kemampuan anak itu sendiri.[5]
2. Peran Pria dalam Rumah Tangga (Suami)
Peran ayah menurut konsep tradisional adalah pribadi yang mempunyai hak tindak bagi keluarganya, mendisiplinkan dan memberi nasehat pada anak-anak, serta seperangkat contoh-contoh tindakan maskulin lain yang harus dilakukan.[6]
Hasil penelitian terhadap perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah menyimpulkan, perkembangan anak menjadi pincang. Kelompok anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan akademisi menurun, aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosial tersebut.
Mempelajari keterlibatan ayah dengan bayinya tidaklah terbatas pada periode awal saja, kaum laki-laki dapat mempelajari berbagai ketrampilan sebagai ayah dalam berbagai kesempatan. Ketrampilan seorang ayah dapat dilakukan tidak hanya pada masa anak-anak saja, atau awal masa bayi. Kesempatan untuk mempelajari peran ayah efektif adalah suatu proses yang terus menerus, tidak terbatas periode tertentu.
Seorang ayah ternyata mempunyai kemampuan yang baik dalam mengasuh anak, bahkan terhadap bayi yang kecil sekalipun. Ayah dan ibu mempunyai cara sendiri dalam mempengaruhi anaknya. Dan keintiman hubungan ayah dengan anak membawa manfaat bagi ayah. Anak membutuhkan ayah, ayah juga membutuhkan anak.[7]
Tingkat keintiman yang berubah-ubah antara ayah dan anak perempuan yang terjadi pada lingkaran kehidupan ganda akan terulang kembali dalam kehidupan wanita sewaktu ia berhubungan dengan suami atau kekasihnya.
Setiap wanita menginginkan intensitas keakraban yang berbeda-beda dalam hubungan dengan laki-laki. Cara yang tepat untuk menentukan patokan tersebut adalah memutuskan apakah yang dirasakan baik untuk kehidupan wanita. Bagi wanita hubungan yang akrab dengan kekasihnya berubah-ubah seperti halnya dengan ayahnya.
Bila seorang wanita kehilangan figur ayah dalam kehidupannya, maka ada lima pola yang muncul dalam diri wanita dalam berhubungan dengan kekasihnya, yaitu frenetic searchers, hopeless, clingy, awkward dan distrustful.
a. Frenetic Searchers
Kelompok Frenetic Searchers tidak mampu mengatasi ketiadaan ayah mereka. Mereka sering berganti-ganti kekasih. Ketiadaan ayah membuat para wanita ini tenggelam dalam keputusasaan yang akan segera hilang bila mendapatkan kekasih baru. Dengan cara ini, ia berusaha mengurangi perasaan suka akibat kehilangan ayah.[8]
b. Hopeless
Kelompok hopeless berbeda dengan kelompok searchers, mereka biasanya kehilangan ayahnya lebih diri dan lebih menggoncangkan jiwa, sehingga tidak mempunyai harapan sama sekali. Wanita semacam ini sama sekali tidak mempercayai laki-laki, karena mereka yakin bahwa laki-laki selalu akan memperlakukan mereka dengan buruk. Banyak wanita dari kelompok ini yang mampu mengatasi keputusasaan, namun perlu usaha sungguh-sungguh.
c. Clingy
Kelompok clingy berusaha mengejar kekurangan di masa lalunya, wanita dari kelompok ini berpindah-pindah dari percintaan berikutnya guna menikmati kesempatan untuk dapat lebih bergantung pada pasangannya.
d. Distrustful
Kelompok distrustful suka mengejek dan mengharap agar semua laki-laki meninggalkan mereka setelah bulan madu selesai, wanita dari kelompok ini cenderung menjalin hubungan yang simbiosis, cenderung acuh tak acuh atau sama sekali menghindar dari laki-laki.[9]


[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.
[2] Andi Mapplari, Psikologi Orang Dewasa, Usaha Rasional, Surabaya, 1997, hlm. 46.
[3] Kartini Kartono, Psikologi Wanita, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 10.
[4] Ibid., hlm. 11.
[5] Andi Mappiari, op.cit., hlm.
[6] Ibid.
[7] Save M. Dagun Psikologi Keluarga (Peran Ayah dalam Keluarga), Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 13
[8] William S. Appleton, Ayah dan Putrinya (Cara Mengatasi Problem dan Hambatan Ayah dan Putrinya), Dahara Press, 1985, hlm. 118-119.
[9] Ibid., hlm. 120-121.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.