PERBUATAN MANUSIA, KEKUASAAN DAN KEADILAN TUHAN DALAM PEMIKIRAN KALAM NAWAWI AL-BANTANI

25 Juli 2009

PERBUATAN MANUSIA, KEKUASAAN DAN KEADILAN TUHAN DALAM PEMIKIRAN KALAM NAWAWI AL-BANTANI


-->
I. PENDAHULUAN
Tulisan ini bermaksud mengutarakan beberapa pemikiran kalam an-Nawawi al-Bantani, yang merupakan salah seorang pengikut al-Asy’ari.
Mempunyai banyak karya tulis dan tersebar luas di pondok pesantren, khususnya di Nusantara ini. Oleh karena itu, ia termasuk salah seorang yang memiliki andil besar tersebarnya paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah di seantero Nusantara ini dan bahkan di negeri Islam lainnya, lantaran ia bermukim dan menjadi ulama besar di Makkah dengan murid-murid internasionalnya, serta karya tulis berbahasa Arab.
II. BIOGRAFI
Nawawi al-Bantani lahir tahun 1230 H/1813 M di Banten Jawa Barat, wafat tahun 1314 H/1897 M di Makkah, dimakamkan di Ma’la sebelah makam Khadijah, umm al-mu’minin, istri Nabi saw. Setiap tahunnya, pada hari Kamis minggu terakhir bulan Syawwal diadakan upacara khaul di daerahnya, Tanara Banten.[1] Ayahnya bernama ‘Umar ibn ‘Arabi, pernah menjabat Penghulu Kecamatan Tanara, Banten, dan mengajar putra-putranya, Nawawi, Tamim dan Ahmad. Tiga putranya ini, kemudian belajar kepada Haji Sahal, seorang ‘ulama masyhur di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan di Purwakarta, Karawang, belajar kepada Raden Haji Yusuf yang mempunyai banyak murid dari seluruh Jawa, khususnya dari Jawa Tengah. Kemudian tiga bersaudara ini pada usia yang masih agak muda menunaikan ibadah haji, usia 15 tahun. Nawawi bermukim di Makkah tiga tahun dan pulang tahun 1833 membawa ilmu pengetahuan yang banyak, namun berencana untuk menetap di Makkah. Setelah itu, tahun 1855 ia bermukim dan menuntut ilmu di Makkah selama tiga puluh tahun.[2]
Guru-guru Nawawi di Makkah, seperti Khatib Sambas, ‘Abd al-Ghani Bima, Yusuf Sumulaweni, Nahrawi, dan ‘Abd al-Hamid ad-Daghastani. Dari para guru-gurunya inilah, Nawawi menjadi seorang ulama besar, pengajar di Tanah Suci, dan sekitar 20 karya tulis di berbagai bidang agama Islam berbahasa Arab keluar daripadanya. Bahkan ada yang menyebut, keistimewaan ‘ulama ini terletak lebih di bidang penanya daripada lidahnya.[3] Karya tulisnya antara lain :
1. Syarh Ajurumiyyah (Nahwu), tahun 1881.
2. Dhari’at al-Yaqin (1886), syarh terhadap karya as-Sanusi (‘aqidah).
3. Fath al-Majid (1881), syarh terhadap ad-Durr al-Farid karya an-Nahrawi.
4. Suluk al-Jadab (1883), dan Sulam al-Munajah (1884), keduanya masalah ibadah.
5. Bidayat al-Hidayat (1881), syarh terhadap karya al-Ghazali (tasawuf)
6. Tafsir Marah Labib, terbit di Makkah tahun 1880-an.[4]
III. PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia, Nawawi menyatakan bahwa kemauan dan perbuatan manusia pada hakekatnya diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan yang diciptakan Tuhan, yang terkenal dengan teori kasb. Yakni berbarengnya kekuasaan baru (manusia) merupakan perbuatan ikhtiyariyyah yang diperoleh tidak mempunyai efek dalam kekuasaannya.[5] Dari sini tampak bahwa, perbuatan ikhtiyariyah yang diperoleh (al-maksubah) tidak mempunyai efek sama sekali, lantaran perbuatan pada hakekatnya diciptakan Tuhan. Penggunaan istilah ikhtiyariyah, bagi Nawawi hanyalah ditinjau dari segi lahiriyah saja, bukan hakiki. Sebab secara hakiki disandarkan kepada Tuhan. Dengan unsur ikhtiyariyah yang biasanya menjadi sebab terciptanya sesuatu perbuatan dan adanya kekuasaan (qudrah), maka wajar jika manusia mendapatkan pahala atau siksa. Jadi secara lahiriyah manusia mempunyai peluang berikhtiyar, namun secara hakiki terpaksa.[6]
Dengan demikian, Nawawi, seperti umumnya kaum Asy’ariyah, dalam hal perbuatan manusia terjebak pada paham Jabariyah, sebagaimana dinyatakan : majburun fi suratin mukhtarin.[7]
Nawawi, membagi perbuatan manusia menjadi dua macam, yaitu perbuatan yang hasil ikhtiyar, seperti memukul, ini diperoleh manusia (muktasab). Dan perbuatan terpaksa (iztirariyah), seperti menggigil, diciptakan Tuhan, bukan perolehan (muktasab).[8] Penggunaan teori kasb ini, dalam rangka mempertahankan tidak adanya “al-kam al-munfasil fi al-af’al”,[9] untuk mensucikan perbuatan Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan surat as-Saffat ayat 96: “wa Allah khalaqakum wa ma ta‘malun”, dan ayat lain yang searti, dan pendapat semacam inilah yang dianggapnya selamat.[10]
IV. KEKUASAAN TUHAN
Nawawi, sebagai pengikut al-Asy’ari, menyatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya, seperti makan tidak menyebabkan kenyang. Jika dikatakan bahwa makan dapat menyebabkan kenyang, karena Tuhan memberikan kekuatan atau sifat mengenyangkan, berarti Tuhan membutuhkan selain-Nya sebagai perantara terwujudnya kenyang itu. Orang yang menyatakan demikian dianggap fasiq dan bid‘ah,[11] termasuk kelompok Mu’tazilah.[12] Jika dikatakan bahwa, benda atau sesuatu itu menyebabkan timbulnya kekuatan tertentu, maka yang menyatakan demikian disebutnya kafir secara ijma’.[13] Menurutnya, yang paling selamat adalah menyatakan : “Bahwa kekuatan tertentu benda-benda itu hanyalah merupakan sebab yang telah biasa terjadi”.[14]
Menurutnya, kehendak Tuhan itu mutlak, menghendaki yang baik maupun yang jelek, namun tidak memerintah dan tidak meridai yang jelek itu. Tuhan menghendaki imannya Abu Bakar dan memerintahkannya, seperti juga menghendaki kekufuran Abu Jahal tanpa memerintah dan meridai atas kekufurannya itu.[15] Hal ini, sama dengan pendapat al-Bazdawi (Maturidiyah Bukhara), bahwa kekuasaan Tuhan ada dua macam, yaitu yang diridai dan yang tidak diridai. Artinya manusia melakukan perbuatan –baik atau jelek– atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya diridai, Tuhan tidak suka perbuatan jahat.[16] Di sini terdapat inkonsistensi dengan pernyataannya, bahwa semua perbuatan manusia diciptakan Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan surat as-Saffat ayat 96 tersebut di atas.
V. KEADILAN TUHAN
Keadilan Tuhan menurut Nawawi, bahwa keadilan Tuhan adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan boleh berkehendak untuk apa saja, termasuk adil jika memasukkan orang mu’min ke neraka dan orang kafir ke surga. Sebab, bagi Tuhan tidak ada kewajiban yang mengikat-Nya, memasukkan orang beriman ke surga lantaran anugerah (fadl)-Nya, dan memasukkan orang kafir ke neraka lantaran keadilan-Nya. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah tentang adil, yaitu memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Tuhan tidak dapat disebut zalim, sebab Dia pemilik segala sesuatu, Dia berhak melakukan apa saja.[17]
Pendapat Nawawi ini, sebagaimana kaum Asy’ariyah lainnya, terdapat persoalan yang rumit. Sebab, paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mengandung arti manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan, sehingga tidak dapat disebut adil jika Tuhan menghukum orang yang melakukan perbuatan yang tidak dikehendakinya, atau karena terpaksa. Di sini Nawawi mencarikan jalan kelar, yaitu konsep iradah dan ar-rida seperti di atas. Maka menentang perintah dan keridaan-Nya, wajar jika mendapatkan pahala atau siksa, sehingga tidak dapat disebut zalim jika Tuhan menghukum orang yang berbuat jahat. Meskipun demikian, tetap saja terdapat kesulitan, yaitu pada hakekatnya kebebasan manusia untuk memilih yang diridai dan yang tidak diridai Tuhan tetap berdasarkan kasb (perolehan) yang diberikan kepada orang itu.
VI. KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, maka dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran seorang tokoh adalah merupakan hasil dialog dengan lingkungan sosial masyarakat sekitarnya, termasuk Nawawi al-Bantani. Dididik dan dibesarkan dalam lingkungan agamis, yang mengikuti paham Asy‘ariyah, baik ketika menuntut ilmu di Jawa maupun di Makkah.
2. Pemikiran kalamnya, mengikuti pemikiran al-Asy’ari. Meskipun dalam masalah tertentu, seperti kehendak dan rida mengikuti al-Bazdawi.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Bazdawi, Usul ad-Din, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, Semarang: al-Alawiyah, t.th.
_________________, Syarh Tijan ad-Darari, Semarang: al-‘Alawiyah, t.th.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989.


[1] Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 95.
[2] Ibid., hlm. 97-98. Lihat, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 118.
[3] Ibid., hlm. 118-120.
[4] Ibid., hlm. 120-122.
[5] Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, (Semarang: al-Alawiyah, t.th.), hlm. 17.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 18. Lihat, Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarh Tijan ad-Darari, (Semarang: al-‘Alawiyah, t.th.), hlm. 4-5.
[10] Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, ibid.
[11] Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarh Tijan ad-Darari, Fath al-Majid, hlm. 5.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 5-6.
[15] Ibid., hlm. 6. Dan Syarh Fath al-Majid, hlm. 26.
[16] Al-Bazdawi, Usul ad-Din, (Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963), hlm. 42.
[17] Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Jawi, Fath al-Majid, hlm. 38.




Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.